Facebook

Mengabstraksi dan Mengonversi Tek CERPEN " MERAIH IMPIAN"






"Nanda, kamu pasti bisa!” ucapan ayah yang selalu mengingatkanku akan jerih payah yang telah kualami. Doa bak bekal yang membawaku menuju kesuksesan. Saat ini madu keberhasilan telah kucicipi bersama keluargaku.

“Nanda, ayah mengharapkanmu tuk merubah nasib keluarga kita.” Kata-kata itulah yang senantiasa membuatku bersemangat.Lambaian tangan ibu di depan pintu seperti nasi yang baru matang kubawa bersama langkah kakiku menuju sekolah.Disamping itu semua tak lupa ku memohon berkat Yang Maha Kuasa.
Aku ingin lebih dari Ayah dan Bunda, aku ingin menjadi panutan yang baik bagi keempat adikku. Aku ingin meringankan beban orangtuaku. Ayah, diluar segala kewajibannya sebagai PNS juga terlibat aktif di dunia jurnalistik dan organisasi. Itu semua membuat bunda tak lepas dari perannya untuk berdagang kecil-kecilan sebagai penopang kehidupan kami yang seadanya. Itulah yang menjadi cambuk bagiku untuk merubah nasib keluarga.

“Kenapa nak? Kok lesu?” ucap bunda sambil merangkul pundakku.
“Nanda lelah bun.” Di warung kecil – kecilan ibu, aku menyandarkan punggungku di dinding anyaman miliknya.
“Nak, kamu tidak berangkat bimbel? Biayanya tak murah tuk bekalmu dimasa depan, lho” Suara lembut itu membangunkanku dari nikmatnya berbaring.
“Siap, Bun!” ucapku pasti seraya bangkit dan bersiap-siap untuk pergi les.
“Kamu harus kerja keras nak, sebentar lagi kamu akan UN, masa depanmu ada di tanganmu.” Perkataan itu seolahmenjadi beban yang harus ku pikul untuk mempertanggung jawabkan pernyataanku untuk merubah nasib keluargaku.
“Bun, nanda berangkat dulu. Doakan keberhasilan Nanda.” Ucapku sambil menyalami bunda seraya berlalu dari ruangan 3 x 3 itu.
Kutatap langit sambil menghela nafas untuk mengawali langkah menuju sekolah untuk mengerjakan ujian nasional. Empat hari menegangkan telah kulewati. Detak kecemasan senantiasa menghiasi detik dan menitku bernafas.
Mata berlinang mengeluarkan air mata kebahagiaan. Ternyata memang benar usaha sama dengan hasil. Aku sangat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Ku eja berulang kali kalimat yang tertera dihadapanku. Kata – kata itu menyatakan bahwa diriku masuk alias di terima di Fakultas Kedokteran.
Masa depan yang ku nanti sudah di hadapan mata, keluh kesah selama ini terasa tidak sia – sia. Membayangkan wajah bahagia bunda dan ayah bak vitamin penambah kebahagiaan. Sambil Senyum – senyum sendiri kaki ini melangkah sendiri menuju rumah kebahagiaan diriku.
“Bagaimana hasilnya, nak?” seperti biasa dengan tenang dan wajah penuh harapan bunda menantiku di depan pintu rumah.
“Tuhan tak sia-sia, bun, yah!” ucapku seraya memelu mereka berdua.
“Syukurlah...” sujud syukur kami kepada Yang Maha Kuasa.
Mungkin kebahagiaan yang kurasakan hanya sebatas itu saja, tepat pada hari pendaftaran ulang, aku seperti melapas semu yang telah ku genggam, menghembuskannya ke udara bak dandelion. Keluargaku mengalami kemalangan. Uang yang telah dipersiapkan untuk biaya masuk fakultas kedokteran dicuri dan tak berbekas serupiahpun.
“Bagaimana kalau kamu mengikuti STPDN seperti anak teman ayah?” Kata-kata itu bak meriam yang menembakkan semangat untukku saat itu. Dengan semangat ku menuju warnet langgananku untuk mencari tahu informasi tentang STPDN. Tanpa pikir panjang ku cetak ketentuan dan syaratitu dalam beberapa lembarkertas berukuran A4. Sedikit demi sedikit aku telah menerima kenyataan ini dan merajutnya dari awal kembali.
Lagi-lagi! Air mataku pecah untuk kedua kalinya.”Tuhan, apa salahku?” batinku. Sungguh berat rasanya, tapi aku telah terlebih bersabar. Mungkin ini memang bukan jalanku. Mana mungkin Resti Hartika denghan tinggi 150cm bisa diterima di STPDN? Berat sekali menjalani hidup ini, memang hiduptak semudah kelihatannya. Air mataku kembali bercucuran. Gerbang menuju masa depan seperti tertutup rapat-rapat. Namun ayah dan bunda tak henti-hentinya menyemangatiku.
“Nak, mungkin sekarang belum rezeki kamu. Kita coba tahun depan ya?” ucapbunda menghiburku dengan tegar.
Wajah yang damai itu memang terlihat tegar sekalipun ia rapuh. Itulah yang membuatku tak pernah berhenti berjuang. Aku yakin Tuhan tengah mempersiapkan segala sesuatu yang sangat istimewa untukku. Entah kapan, aku taktahu.
Kuyakinkan hatiku untuk cuti 1 tahun ke depan. Tidak apa-apa, mungkin jalanku tahun depan ucapku berulang kali menyemangati diri ini. Ku putuskan untuk menolong bunda menjaga warung.
Sedikit demi sedikit aku belajar dari pengalaman hidup bunda. Belajar dari bunda bagaimana cara tegar dalam menjalani hidup. Bunda tiada henti-hentinya berjuang demi kebaikan kami, setelah seharian menjaga warung, malam harinya bunda merajut sisa kain perca menjadi sebuah seprei dan menjualnya di mini market. Tak jarang ku lihat bunda melakukan shalat malam dan menyebut namaku di dalam doanya.
“Tuhan, semoga bunda selalu dikarunia kesehatan lahir bathin.” Pintaku lirih setiap menatap wajah lembut wanita itu.
Suatu malam, ayah mengumpulkan kami semua di ruang keluarga. Seperti ada sesuatu yang hendak disampaikan ayah kepada kami.
“Nak, mulai hari ini ayah memutuskan untuk tidak bekerja lagi dan tidak mengikuti organisasi.”
Ruangan yang takbesar itu hening seketika, tak ada yang berani menanggapi pernyataan ayah.
“ayah akan mulai untuk membuka usaha.” Lanjut ayah.
Wajah berseri langsung ku hadapkan kepada ayah. Aku sangat bahagia mendengar pernyataan ayah.
“itu lebih baik, yah!”mataku berbinar-binar memeluk ayah.
Sejak saat itu ayah sering membaca profil biografi orang orang sukses seperti Bob Sadino, Bill Gates, Steve Jobs, Richar B, Donald T, dan Elang Gumilang.
Iseng, hanya bermodal iseng. Aku membaca buku buku milik ayah tentang pengusaha sukses. Ketertarikanku dalam mempelajari hal tentang berbisnis ternyata menumbuhkan benih pohon bisnis dalam jiwaku.
Setahun sudah kulewati semenjak kejadian dimana aku begitu terpukul dan kehilangan harapan. Dari nol ku rajut mimpiku kembali. Ku buka lembaran-lembaran pelajaran SMA yang telah berdebu. Dengan segenggam harapan, mengharap seberkas cahaya kan menyinari ku, aku mendaftar untuk mengikuti SBMPTN dengan mengambil konsentrasi Pendidikan Bahasa Inggris di salah satu universitas di kotaku.
Tuhan maha pengasih maha penyayang. Ia tunjukkan jalan kebenaran bagiku. Semuanya tak sia-sai. Aku diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, ku jalani hari-hariku dengan gembira. Disamping kuliah aku juga menekuni dunia usaha.Kebahagiaanku terus berlanjut, kak Ica –sepupuku- datang kepadaku dan menawarkan untuk merajut bisnis bersama.
“nanda, disebalah toko bunda ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membelu kios itu, lalu kita jual pakaian disana?” kata kak Ica.
Tidak mungkin aku menolak kesempatan emas itu, disaat ku ingin membuka bisnis, kak Ica datang menawarkan kesempatan emas itu padaku.
Kami mulai dengan membuka bisnis pakaian. Tidak ku sangka usaha itu menuaikan hasil yang gemilang. Berkali-kali bunda mengunjungi kios milikku dan kak Ica.
“wah, ternyata Nanda sudah meruap banyak untung nih.”
“Puji Tuhan, itu semua berkat doa bunda dan ayah.” Tak mampu ku menahan tangis kebahagian, ku dekap erat bunda dan ku temukan ketenangan Dn kelegaan.
“itu juga karena usaha dan kerja keras Nanda.” Suara yang penuh ketegaran itu membuatku merasa nyaman. Untuk pertama kalinya nafas ini menghembuskan kelegaan tiada tara saat menemukan jalan hidupkku yang biak ini walau sering di selimuti kekecewaan. Inilah aku yang sekarang, siapa sangka semuanya akan berakhir seperti ini. Kita diperbolehkan untuk bermimpi setinggi-tingginya, kemudian biarkan yang maha kuasa menentukan jalan yang terbaik untuk umatnya. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kita yang merubahnya terlebih dahulu.Janganlah angkuh dan sombong dalam berhasilmu, karena saripati manis ini berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa.






"Nanda, kamu pasti bisa!” ucapan ayah yang selalu mengingatkanku akan jerih payah yang telah kualami. Doa bak bekal yang membawaku menuju kesuksesan. Saat ini madu keberhasilan telah kucicipi bersama keluargaku.

“Nanda, ayah mengharapkanmu tuk merubah nasib keluarga kita.” Kata-kata itulah yang senantiasa membuatku bersemangat.Lambaian tangan ibu di depan pintu seperti nasi yang baru matang kubawa bersama langkah kakiku menuju sekolah.Disamping itu semua tak lupa ku memohon berkat Yang Maha Kuasa.
Aku ingin lebih dari Ayah dan Bunda, aku ingin menjadi panutan yang baik bagi keempat adikku. Aku ingin meringankan beban orangtuaku. Ayah, diluar segala kewajibannya sebagai PNS juga terlibat aktif di dunia jurnalistik dan organisasi. Itu semua membuat bunda tak lepas dari perannya untuk berdagang kecil-kecilan sebagai penopang kehidupan kami yang seadanya. Itulah yang menjadi cambuk bagiku untuk merubah nasib keluarga.

“Kenapa nak? Kok lesu?” ucap bunda sambil merangkul pundakku.
“Nanda lelah bun.” Di warung kecil – kecilan ibu, aku menyandarkan punggungku di dinding anyaman miliknya.
“Nak, kamu tidak berangkat bimbel? Biayanya tak murah tuk bekalmu dimasa depan, lho” Suara lembut itu membangunkanku dari nikmatnya berbaring.
“Siap, Bun!” ucapku pasti seraya bangkit dan bersiap-siap untuk pergi les.
“Kamu harus kerja keras nak, sebentar lagi kamu akan UN, masa depanmu ada di tanganmu.” Perkataan itu seolahmenjadi beban yang harus ku pikul untuk mempertanggung jawabkan pernyataanku untuk merubah nasib keluargaku.
“Bun, nanda berangkat dulu. Doakan keberhasilan Nanda.” Ucapku sambil menyalami bunda seraya berlalu dari ruangan 3 x 3 itu.
Kutatap langit sambil menghela nafas untuk mengawali langkah menuju sekolah untuk mengerjakan ujian nasional. Empat hari menegangkan telah kulewati. Detak kecemasan senantiasa menghiasi detik dan menitku bernafas.
Mata berlinang mengeluarkan air mata kebahagiaan. Ternyata memang benar usaha sama dengan hasil. Aku sangat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Ku eja berulang kali kalimat yang tertera dihadapanku. Kata – kata itu menyatakan bahwa diriku masuk alias di terima di Fakultas Kedokteran.
Masa depan yang ku nanti sudah di hadapan mata, keluh kesah selama ini terasa tidak sia – sia. Membayangkan wajah bahagia bunda dan ayah bak vitamin penambah kebahagiaan. Sambil Senyum – senyum sendiri kaki ini melangkah sendiri menuju rumah kebahagiaan diriku.
“Bagaimana hasilnya, nak?” seperti biasa dengan tenang dan wajah penuh harapan bunda menantiku di depan pintu rumah.
“Tuhan tak sia-sia, bun, yah!” ucapku seraya memelu mereka berdua.
“Syukurlah...” sujud syukur kami kepada Yang Maha Kuasa.
Mungkin kebahagiaan yang kurasakan hanya sebatas itu saja, tepat pada hari pendaftaran ulang, aku seperti melapas semu yang telah ku genggam, menghembuskannya ke udara bak dandelion. Keluargaku mengalami kemalangan. Uang yang telah dipersiapkan untuk biaya masuk fakultas kedokteran dicuri dan tak berbekas serupiahpun.
“Bagaimana kalau kamu mengikuti STPDN seperti anak teman ayah?” Kata-kata itu bak meriam yang menembakkan semangat untukku saat itu. Dengan semangat ku menuju warnet langgananku untuk mencari tahu informasi tentang STPDN. Tanpa pikir panjang ku cetak ketentuan dan syaratitu dalam beberapa lembarkertas berukuran A4. Sedikit demi sedikit aku telah menerima kenyataan ini dan merajutnya dari awal kembali.
Lagi-lagi! Air mataku pecah untuk kedua kalinya.”Tuhan, apa salahku?” batinku. Sungguh berat rasanya, tapi aku telah terlebih bersabar. Mungkin ini memang bukan jalanku. Mana mungkin Resti Hartika denghan tinggi 150cm bisa diterima di STPDN? Berat sekali menjalani hidup ini, memang hiduptak semudah kelihatannya. Air mataku kembali bercucuran. Gerbang menuju masa depan seperti tertutup rapat-rapat. Namun ayah dan bunda tak henti-hentinya menyemangatiku.
“Nak, mungkin sekarang belum rezeki kamu. Kita coba tahun depan ya?” ucapbunda menghiburku dengan tegar.
Wajah yang damai itu memang terlihat tegar sekalipun ia rapuh. Itulah yang membuatku tak pernah berhenti berjuang. Aku yakin Tuhan tengah mempersiapkan segala sesuatu yang sangat istimewa untukku. Entah kapan, aku taktahu.
Kuyakinkan hatiku untuk cuti 1 tahun ke depan. Tidak apa-apa, mungkin jalanku tahun depan ucapku berulang kali menyemangati diri ini. Ku putuskan untuk menolong bunda menjaga warung.
Sedikit demi sedikit aku belajar dari pengalaman hidup bunda. Belajar dari bunda bagaimana cara tegar dalam menjalani hidup. Bunda tiada henti-hentinya berjuang demi kebaikan kami, setelah seharian menjaga warung, malam harinya bunda merajut sisa kain perca menjadi sebuah seprei dan menjualnya di mini market. Tak jarang ku lihat bunda melakukan shalat malam dan menyebut namaku di dalam doanya.
“Tuhan, semoga bunda selalu dikarunia kesehatan lahir bathin.” Pintaku lirih setiap menatap wajah lembut wanita itu.
Suatu malam, ayah mengumpulkan kami semua di ruang keluarga. Seperti ada sesuatu yang hendak disampaikan ayah kepada kami.
“Nak, mulai hari ini ayah memutuskan untuk tidak bekerja lagi dan tidak mengikuti organisasi.”
Ruangan yang takbesar itu hening seketika, tak ada yang berani menanggapi pernyataan ayah.
“ayah akan mulai untuk membuka usaha.” Lanjut ayah.
Wajah berseri langsung ku hadapkan kepada ayah. Aku sangat bahagia mendengar pernyataan ayah.
“itu lebih baik, yah!”mataku berbinar-binar memeluk ayah.
Sejak saat itu ayah sering membaca profil biografi orang orang sukses seperti Bob Sadino, Bill Gates, Steve Jobs, Richar B, Donald T, dan Elang Gumilang.
Iseng, hanya bermodal iseng. Aku membaca buku buku milik ayah tentang pengusaha sukses. Ketertarikanku dalam mempelajari hal tentang berbisnis ternyata menumbuhkan benih pohon bisnis dalam jiwaku.
Setahun sudah kulewati semenjak kejadian dimana aku begitu terpukul dan kehilangan harapan. Dari nol ku rajut mimpiku kembali. Ku buka lembaran-lembaran pelajaran SMA yang telah berdebu. Dengan segenggam harapan, mengharap seberkas cahaya kan menyinari ku, aku mendaftar untuk mengikuti SBMPTN dengan mengambil konsentrasi Pendidikan Bahasa Inggris di salah satu universitas di kotaku.
Tuhan maha pengasih maha penyayang. Ia tunjukkan jalan kebenaran bagiku. Semuanya tak sia-sai. Aku diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, ku jalani hari-hariku dengan gembira. Disamping kuliah aku juga menekuni dunia usaha.Kebahagiaanku terus berlanjut, kak Ica –sepupuku- datang kepadaku dan menawarkan untuk merajut bisnis bersama.
“nanda, disebalah toko bunda ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membelu kios itu, lalu kita jual pakaian disana?” kata kak Ica.
Tidak mungkin aku menolak kesempatan emas itu, disaat ku ingin membuka bisnis, kak Ica datang menawarkan kesempatan emas itu padaku.
Kami mulai dengan membuka bisnis pakaian. Tidak ku sangka usaha itu menuaikan hasil yang gemilang. Berkali-kali bunda mengunjungi kios milikku dan kak Ica.
“wah, ternyata Nanda sudah meruap banyak untung nih.”
“Puji Tuhan, itu semua berkat doa bunda dan ayah.” Tak mampu ku menahan tangis kebahagian, ku dekap erat bunda dan ku temukan ketenangan Dn kelegaan.
“itu juga karena usaha dan kerja keras Nanda.” Suara yang penuh ketegaran itu membuatku merasa nyaman. Untuk pertama kalinya nafas ini menghembuskan kelegaan tiada tara saat menemukan jalan hidupkku yang biak ini walau sering di selimuti kekecewaan. Inilah aku yang sekarang, siapa sangka semuanya akan berakhir seperti ini. Kita diperbolehkan untuk bermimpi setinggi-tingginya, kemudian biarkan yang maha kuasa menentukan jalan yang terbaik untuk umatnya. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kita yang merubahnya terlebih dahulu.Janganlah angkuh dan sombong dalam berhasilmu, karena saripati manis ini berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengabstraksi dan Mengonversi Tek CERPEN " MERAIH IMPIAN""

Post a Comment