Mengabstraksi dan Mengonversi Tek CERPEN " MERAIH IMPIAN"
"Nanda,
kamu pasti bisa!” ucapan ayah yang selalu mengingatkanku akan jerih payah yang
telah kualami. Doa bak bekal yang membawaku menuju kesuksesan. Saat ini madu
keberhasilan telah kucicipi bersama keluargaku.
“Nanda,
ayah mengharapkanmu tuk merubah nasib keluarga kita.” Kata-kata itulah yang
senantiasa membuatku bersemangat.Lambaian tangan ibu di depan pintu seperti
nasi yang baru matang kubawa bersama langkah kakiku menuju sekolah.Disamping
itu semua tak lupa ku memohon berkat Yang Maha Kuasa.
Aku ingin
lebih dari Ayah dan Bunda, aku ingin menjadi panutan yang baik bagi keempat
adikku. Aku ingin meringankan beban orangtuaku. Ayah, diluar segala
kewajibannya sebagai PNS juga terlibat aktif di dunia jurnalistik dan
organisasi. Itu semua membuat bunda tak lepas dari perannya untuk berdagang
kecil-kecilan sebagai penopang kehidupan kami yang seadanya. Itulah yang
menjadi cambuk bagiku untuk merubah nasib keluarga.
“Kenapa
nak? Kok lesu?” ucap bunda sambil merangkul pundakku.
“Nanda
lelah bun.” Di warung kecil – kecilan ibu, aku menyandarkan punggungku di dinding
anyaman miliknya.
“Nak, kamu
tidak berangkat bimbel? Biayanya tak murah tuk bekalmu dimasa depan, lho”
Suara lembut itu membangunkanku dari nikmatnya berbaring.
“Siap,
Bun!” ucapku pasti seraya bangkit dan bersiap-siap untuk pergi les.
“Kamu
harus kerja keras nak, sebentar lagi kamu akan UN, masa depanmu ada di
tanganmu.” Perkataan itu seolahmenjadi beban yang harus ku pikul untuk
mempertanggung jawabkan pernyataanku untuk merubah nasib keluargaku.
“Bun,
nanda berangkat dulu. Doakan keberhasilan Nanda.” Ucapku sambil menyalami bunda
seraya berlalu dari ruangan 3 x 3 itu.
Kutatap
langit sambil menghela nafas untuk mengawali langkah menuju sekolah untuk
mengerjakan ujian nasional. Empat hari menegangkan telah kulewati. Detak
kecemasan senantiasa menghiasi detik dan menitku bernafas.
Mata
berlinang mengeluarkan air mata kebahagiaan. Ternyata memang benar usaha sama
dengan hasil. Aku sangat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Ku eja berulang kali
kalimat yang tertera dihadapanku. Kata – kata itu menyatakan bahwa diriku masuk
alias di terima di Fakultas Kedokteran.
Masa
depan yang ku nanti sudah di hadapan mata, keluh kesah selama ini terasa tidak
sia – sia. Membayangkan wajah bahagia bunda dan ayah bak vitamin penambah
kebahagiaan. Sambil Senyum – senyum sendiri kaki ini melangkah sendiri menuju
rumah kebahagiaan diriku.
“Bagaimana
hasilnya, nak?” seperti biasa dengan tenang dan wajah penuh harapan bunda
menantiku di depan pintu rumah.
“Tuhan
tak sia-sia, bun, yah!” ucapku seraya memelu mereka berdua.
“Syukurlah...”
sujud syukur kami kepada Yang Maha Kuasa.
Mungkin
kebahagiaan yang kurasakan hanya sebatas itu saja, tepat pada hari pendaftaran
ulang, aku seperti melapas semu yang telah ku genggam, menghembuskannya ke
udara bak dandelion. Keluargaku mengalami kemalangan. Uang yang telah
dipersiapkan untuk biaya masuk fakultas kedokteran dicuri dan tak berbekas
serupiahpun.
“Bagaimana kalau kamu
mengikuti STPDN seperti anak teman ayah?” Kata-kata itu bak meriam yang
menembakkan semangat untukku saat itu. Dengan semangat ku menuju warnet
langgananku untuk mencari tahu informasi tentang STPDN. Tanpa pikir panjang ku
cetak ketentuan dan syaratitu dalam beberapa lembarkertas berukuran A4. Sedikit
demi sedikit aku telah menerima kenyataan ini dan merajutnya dari awal kembali.
Lagi-lagi!
Air mataku pecah untuk kedua kalinya.”Tuhan, apa salahku?” batinku. Sungguh
berat rasanya, tapi aku telah terlebih bersabar. Mungkin ini memang bukan
jalanku. Mana mungkin Resti Hartika denghan tinggi 150cm bisa diterima di
STPDN? Berat sekali menjalani hidup ini, memang hiduptak semudah kelihatannya.
Air mataku kembali bercucuran. Gerbang menuju masa depan seperti tertutup
rapat-rapat. Namun ayah dan bunda tak henti-hentinya menyemangatiku.
“Nak,
mungkin sekarang belum rezeki kamu. Kita coba tahun depan ya?” ucapbunda
menghiburku dengan tegar.
Wajah
yang damai itu memang terlihat tegar sekalipun ia rapuh. Itulah yang membuatku
tak pernah berhenti berjuang. Aku yakin Tuhan tengah mempersiapkan segala
sesuatu yang sangat istimewa untukku. Entah kapan, aku taktahu.
Kuyakinkan
hatiku untuk cuti 1 tahun ke depan. Tidak apa-apa, mungkin jalanku tahun depan
ucapku berulang kali menyemangati diri ini. Ku putuskan untuk menolong bunda
menjaga warung.
Sedikit
demi sedikit aku belajar dari pengalaman hidup bunda. Belajar dari bunda
bagaimana cara tegar dalam menjalani hidup. Bunda tiada henti-hentinya berjuang
demi kebaikan kami, setelah seharian menjaga warung, malam harinya bunda
merajut sisa kain perca menjadi sebuah seprei dan menjualnya di mini market.
Tak jarang ku lihat bunda melakukan shalat malam dan menyebut namaku di dalam
doanya.
“Tuhan,
semoga bunda selalu dikarunia kesehatan lahir bathin.” Pintaku lirih setiap
menatap wajah lembut wanita itu.
Suatu
malam, ayah mengumpulkan kami semua di ruang keluarga. Seperti ada sesuatu yang
hendak disampaikan ayah kepada kami.
“Nak,
mulai hari ini ayah memutuskan untuk tidak bekerja lagi dan tidak mengikuti
organisasi.”
Ruangan
yang takbesar itu hening seketika, tak ada yang berani menanggapi pernyataan
ayah.
“ayah
akan mulai untuk membuka usaha.” Lanjut ayah.
Wajah
berseri langsung ku hadapkan kepada ayah. Aku sangat bahagia mendengar
pernyataan ayah.
“itu
lebih baik, yah!”mataku berbinar-binar memeluk ayah.
Sejak
saat itu ayah sering membaca profil biografi orang orang sukses seperti Bob
Sadino, Bill Gates, Steve Jobs, Richar B, Donald T, dan Elang Gumilang.
Iseng,
hanya bermodal iseng. Aku membaca buku buku milik ayah tentang pengusaha
sukses. Ketertarikanku dalam mempelajari hal tentang berbisnis ternyata
menumbuhkan benih pohon bisnis dalam jiwaku.
Setahun sudah kulewati
semenjak kejadian dimana aku begitu terpukul dan kehilangan harapan. Dari nol
ku rajut mimpiku kembali. Ku buka lembaran-lembaran pelajaran SMA yang telah
berdebu. Dengan segenggam harapan, mengharap seberkas cahaya kan menyinari ku,
aku mendaftar untuk mengikuti SBMPTN dengan mengambil konsentrasi Pendidikan
Bahasa Inggris di salah satu universitas di kotaku.
Tuhan maha pengasih maha
penyayang. Ia tunjukkan jalan kebenaran bagiku. Semuanya tak sia-sai. Aku
diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, ku jalani hari-hariku dengan
gembira. Disamping kuliah aku juga menekuni dunia usaha.Kebahagiaanku terus
berlanjut, kak Ica –sepupuku- datang kepadaku dan menawarkan untuk merajut bisnis
bersama.
“nanda, disebalah toko bunda
ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membelu kios itu,
lalu kita jual pakaian disana?” kata kak Ica.
Tidak
mungkin aku menolak kesempatan emas itu, disaat ku ingin membuka bisnis, kak
Ica datang menawarkan kesempatan emas itu padaku.
Kami
mulai dengan membuka bisnis pakaian. Tidak ku sangka usaha itu menuaikan hasil
yang gemilang. Berkali-kali bunda mengunjungi kios milikku dan kak Ica.
“wah,
ternyata Nanda sudah meruap banyak untung nih.”
“Puji
Tuhan, itu semua berkat doa bunda dan ayah.” Tak mampu ku menahan tangis
kebahagian, ku dekap erat bunda dan ku temukan ketenangan Dn kelegaan.
“itu juga
karena usaha dan kerja keras Nanda.” Suara yang penuh ketegaran itu membuatku
merasa nyaman. Untuk pertama kalinya nafas ini menghembuskan kelegaan tiada
tara saat menemukan jalan hidupkku yang biak ini walau sering di selimuti
kekecewaan. Inilah aku yang sekarang, siapa sangka semuanya akan berakhir
seperti ini. Kita diperbolehkan untuk bermimpi setinggi-tingginya, kemudian
biarkan yang maha kuasa menentukan jalan yang terbaik untuk umatnya. Allah
tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kita yang merubahnya terlebih
dahulu.Janganlah angkuh dan sombong dalam berhasilmu, karena saripati manis ini
berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
"Nanda,
kamu pasti bisa!” ucapan ayah yang selalu mengingatkanku akan jerih payah yang
telah kualami. Doa bak bekal yang membawaku menuju kesuksesan. Saat ini madu
keberhasilan telah kucicipi bersama keluargaku.
“Nanda,
ayah mengharapkanmu tuk merubah nasib keluarga kita.” Kata-kata itulah yang
senantiasa membuatku bersemangat.Lambaian tangan ibu di depan pintu seperti
nasi yang baru matang kubawa bersama langkah kakiku menuju sekolah.Disamping
itu semua tak lupa ku memohon berkat Yang Maha Kuasa.
Aku ingin
lebih dari Ayah dan Bunda, aku ingin menjadi panutan yang baik bagi keempat
adikku. Aku ingin meringankan beban orangtuaku. Ayah, diluar segala
kewajibannya sebagai PNS juga terlibat aktif di dunia jurnalistik dan
organisasi. Itu semua membuat bunda tak lepas dari perannya untuk berdagang
kecil-kecilan sebagai penopang kehidupan kami yang seadanya. Itulah yang
menjadi cambuk bagiku untuk merubah nasib keluarga.
“Kenapa
nak? Kok lesu?” ucap bunda sambil merangkul pundakku.
“Nanda
lelah bun.” Di warung kecil – kecilan ibu, aku menyandarkan punggungku di dinding
anyaman miliknya.
“Nak, kamu
tidak berangkat bimbel? Biayanya tak murah tuk bekalmu dimasa depan, lho”
Suara lembut itu membangunkanku dari nikmatnya berbaring.
“Siap,
Bun!” ucapku pasti seraya bangkit dan bersiap-siap untuk pergi les.
“Kamu
harus kerja keras nak, sebentar lagi kamu akan UN, masa depanmu ada di
tanganmu.” Perkataan itu seolahmenjadi beban yang harus ku pikul untuk
mempertanggung jawabkan pernyataanku untuk merubah nasib keluargaku.
“Bun,
nanda berangkat dulu. Doakan keberhasilan Nanda.” Ucapku sambil menyalami bunda
seraya berlalu dari ruangan 3 x 3 itu.
Kutatap
langit sambil menghela nafas untuk mengawali langkah menuju sekolah untuk
mengerjakan ujian nasional. Empat hari menegangkan telah kulewati. Detak
kecemasan senantiasa menghiasi detik dan menitku bernafas.
Mata
berlinang mengeluarkan air mata kebahagiaan. Ternyata memang benar usaha sama
dengan hasil. Aku sangat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Ku eja berulang kali
kalimat yang tertera dihadapanku. Kata – kata itu menyatakan bahwa diriku masuk
alias di terima di Fakultas Kedokteran.
Masa
depan yang ku nanti sudah di hadapan mata, keluh kesah selama ini terasa tidak
sia – sia. Membayangkan wajah bahagia bunda dan ayah bak vitamin penambah
kebahagiaan. Sambil Senyum – senyum sendiri kaki ini melangkah sendiri menuju
rumah kebahagiaan diriku.
“Bagaimana
hasilnya, nak?” seperti biasa dengan tenang dan wajah penuh harapan bunda
menantiku di depan pintu rumah.
“Tuhan
tak sia-sia, bun, yah!” ucapku seraya memelu mereka berdua.
“Syukurlah...”
sujud syukur kami kepada Yang Maha Kuasa.
Mungkin
kebahagiaan yang kurasakan hanya sebatas itu saja, tepat pada hari pendaftaran
ulang, aku seperti melapas semu yang telah ku genggam, menghembuskannya ke
udara bak dandelion. Keluargaku mengalami kemalangan. Uang yang telah
dipersiapkan untuk biaya masuk fakultas kedokteran dicuri dan tak berbekas
serupiahpun.
“Bagaimana kalau kamu
mengikuti STPDN seperti anak teman ayah?” Kata-kata itu bak meriam yang
menembakkan semangat untukku saat itu. Dengan semangat ku menuju warnet
langgananku untuk mencari tahu informasi tentang STPDN. Tanpa pikir panjang ku
cetak ketentuan dan syaratitu dalam beberapa lembarkertas berukuran A4. Sedikit
demi sedikit aku telah menerima kenyataan ini dan merajutnya dari awal kembali.
Lagi-lagi!
Air mataku pecah untuk kedua kalinya.”Tuhan, apa salahku?” batinku. Sungguh
berat rasanya, tapi aku telah terlebih bersabar. Mungkin ini memang bukan
jalanku. Mana mungkin Resti Hartika denghan tinggi 150cm bisa diterima di
STPDN? Berat sekali menjalani hidup ini, memang hiduptak semudah kelihatannya.
Air mataku kembali bercucuran. Gerbang menuju masa depan seperti tertutup
rapat-rapat. Namun ayah dan bunda tak henti-hentinya menyemangatiku.
“Nak,
mungkin sekarang belum rezeki kamu. Kita coba tahun depan ya?” ucapbunda
menghiburku dengan tegar.
Wajah
yang damai itu memang terlihat tegar sekalipun ia rapuh. Itulah yang membuatku
tak pernah berhenti berjuang. Aku yakin Tuhan tengah mempersiapkan segala
sesuatu yang sangat istimewa untukku. Entah kapan, aku taktahu.
Kuyakinkan
hatiku untuk cuti 1 tahun ke depan. Tidak apa-apa, mungkin jalanku tahun depan
ucapku berulang kali menyemangati diri ini. Ku putuskan untuk menolong bunda
menjaga warung.
Sedikit
demi sedikit aku belajar dari pengalaman hidup bunda. Belajar dari bunda
bagaimana cara tegar dalam menjalani hidup. Bunda tiada henti-hentinya berjuang
demi kebaikan kami, setelah seharian menjaga warung, malam harinya bunda
merajut sisa kain perca menjadi sebuah seprei dan menjualnya di mini market.
Tak jarang ku lihat bunda melakukan shalat malam dan menyebut namaku di dalam
doanya.
“Tuhan,
semoga bunda selalu dikarunia kesehatan lahir bathin.” Pintaku lirih setiap
menatap wajah lembut wanita itu.
Suatu
malam, ayah mengumpulkan kami semua di ruang keluarga. Seperti ada sesuatu yang
hendak disampaikan ayah kepada kami.
“Nak,
mulai hari ini ayah memutuskan untuk tidak bekerja lagi dan tidak mengikuti
organisasi.”
Ruangan
yang takbesar itu hening seketika, tak ada yang berani menanggapi pernyataan
ayah.
“ayah
akan mulai untuk membuka usaha.” Lanjut ayah.
Wajah
berseri langsung ku hadapkan kepada ayah. Aku sangat bahagia mendengar
pernyataan ayah.
“itu
lebih baik, yah!”mataku berbinar-binar memeluk ayah.
Sejak
saat itu ayah sering membaca profil biografi orang orang sukses seperti Bob
Sadino, Bill Gates, Steve Jobs, Richar B, Donald T, dan Elang Gumilang.
Iseng,
hanya bermodal iseng. Aku membaca buku buku milik ayah tentang pengusaha
sukses. Ketertarikanku dalam mempelajari hal tentang berbisnis ternyata
menumbuhkan benih pohon bisnis dalam jiwaku.
Setahun sudah kulewati
semenjak kejadian dimana aku begitu terpukul dan kehilangan harapan. Dari nol
ku rajut mimpiku kembali. Ku buka lembaran-lembaran pelajaran SMA yang telah
berdebu. Dengan segenggam harapan, mengharap seberkas cahaya kan menyinari ku,
aku mendaftar untuk mengikuti SBMPTN dengan mengambil konsentrasi Pendidikan
Bahasa Inggris di salah satu universitas di kotaku.
Tuhan maha pengasih maha
penyayang. Ia tunjukkan jalan kebenaran bagiku. Semuanya tak sia-sai. Aku
diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, ku jalani hari-hariku dengan
gembira. Disamping kuliah aku juga menekuni dunia usaha.Kebahagiaanku terus
berlanjut, kak Ica –sepupuku- datang kepadaku dan menawarkan untuk merajut bisnis
bersama.
“nanda, disebalah toko bunda
ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membelu kios itu,
lalu kita jual pakaian disana?” kata kak Ica.
Tidak
mungkin aku menolak kesempatan emas itu, disaat ku ingin membuka bisnis, kak
Ica datang menawarkan kesempatan emas itu padaku.
Kami
mulai dengan membuka bisnis pakaian. Tidak ku sangka usaha itu menuaikan hasil
yang gemilang. Berkali-kali bunda mengunjungi kios milikku dan kak Ica.
“wah,
ternyata Nanda sudah meruap banyak untung nih.”
“Puji
Tuhan, itu semua berkat doa bunda dan ayah.” Tak mampu ku menahan tangis
kebahagian, ku dekap erat bunda dan ku temukan ketenangan Dn kelegaan.
“itu juga
karena usaha dan kerja keras Nanda.” Suara yang penuh ketegaran itu membuatku
merasa nyaman. Untuk pertama kalinya nafas ini menghembuskan kelegaan tiada
tara saat menemukan jalan hidupkku yang biak ini walau sering di selimuti
kekecewaan. Inilah aku yang sekarang, siapa sangka semuanya akan berakhir
seperti ini. Kita diperbolehkan untuk bermimpi setinggi-tingginya, kemudian
biarkan yang maha kuasa menentukan jalan yang terbaik untuk umatnya. Allah
tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kita yang merubahnya terlebih
dahulu.Janganlah angkuh dan sombong dalam berhasilmu, karena saripati manis ini
berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
0 Response to "Mengabstraksi dan Mengonversi Tek CERPEN " MERAIH IMPIAN""
Post a Comment