Facebook

Hidup Bersama Banjir


Banjir bandang dan tanah longsor dengan daya rusak maha dahsyat hingga menelan korban jiwa bukan lagi sesuatu yang asing bagi warga Sulawesi Utara (Sulut) dan Kota Manado khususnya. Data menunjukkan, banjir rutin menghajar Kota Manado sejak akhir tahun 1990-an. Intensitasnya kian meningkat sejak tahun 2000 hingga sekarang.
Dalam dua tahun terakhir, bencana banjir serta tanah longsor seolah menjadi ritual awal tahun yang sangat mematikan. Pada tanggal 17 Februari 2013, banjir dan tanah longsor yang menerjang Kota Manado dan sekitarnya menyebabkan 17 orang meninggal dunia. Belum genap setahun atau tepat pada hari Rabu, 15 Januari 2014 bencana serupa lagi-lagi menimpa. Sebanyak 19 orang tewas dan kerugian material menurut catatan sementara pemerintah kurang lebih Rp 1,8 triliun.
Dampak psikologis bencana ini tak kalah mengerikan. Sebagian besar korban pastilah mengalami depresi. Ada rasa kehilangan, letih dan  putus asa. Hari-hari ini Kota Manado bahkan masih dalam kondisi mengenaskan. Sampah dan lumpur berlepotan di mana-mana. Dibutuhkan kerja keras dan kerja cerdas semua pihak agar kota ini bisa kembali berseri selekasnya.
Pertanyaan penting yang patut diajukan, bagaimana warga Manado menatap masa depannnya? Dengan untaian peristiwa banjir selama satu dasawarsa ini, kita berpandangan bahwa program jangka panjang mengatasi banjir dan longsor jangan ditunda-tunda lagi. Janji pemerintah menormalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano jangan cuma ngomong doang. Pemerintah harus menunjukkan bukti.
Langkah lain yang tak kalah urgen yaitu mitigasi bencana.  Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha guna mengurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.
Dalam rangka itu tentu dibutuhkan gerakan penyadaran yang masif  bagi warga Kota Manado serta daerah sekitarnya bahwa mereka hidup dengan ancaman banjir dan longsor. Gerakan penyadaran itu sangat penting agar masyarakat tanggap atau sadar bencana. Warga Manado mesti paham kapan mereka harus siaga banjir dan longsor,  kapan mengungsi, bagaimana memilih akses jalan untuk  mengungsi, di mana tempat mengungsi yang aman dan sebagainya.
Dengan demikian niscaya kita bisa menekan jatuhnya korban jiwa serta harta benda ketika banjir datang akibat curah hujan di wilayah Sulut di atas normal. Mitigasi bencana banjir dan longsor mestinya menjadi program prioritas Pemerintah Provinsi Sulut serta Pemerintah Kota Manado pascabanjir bandang 15 Januari 2014. Tentu tidak langsung menuntaskan seluruh perkara. Tapi jika kita telah berani memulai, setidaknya dapat meminimalisir risiko bencana pada waktu mendatang.  Manado tidak boleh larut  dalam bencana ini. Saatnya kita bangkit!*

Banjir bandang dan tanah longsor dengan daya rusak maha dahsyat hingga menelan korban jiwa bukan lagi sesuatu yang asing bagi warga Sulawesi Utara (Sulut) dan Kota Manado khususnya. Data menunjukkan, banjir rutin menghajar Kota Manado sejak akhir tahun 1990-an. Intensitasnya kian meningkat sejak tahun 2000 hingga sekarang.
Dalam dua tahun terakhir, bencana banjir serta tanah longsor seolah menjadi ritual awal tahun yang sangat mematikan. Pada tanggal 17 Februari 2013, banjir dan tanah longsor yang menerjang Kota Manado dan sekitarnya menyebabkan 17 orang meninggal dunia. Belum genap setahun atau tepat pada hari Rabu, 15 Januari 2014 bencana serupa lagi-lagi menimpa. Sebanyak 19 orang tewas dan kerugian material menurut catatan sementara pemerintah kurang lebih Rp 1,8 triliun.
Dampak psikologis bencana ini tak kalah mengerikan. Sebagian besar korban pastilah mengalami depresi. Ada rasa kehilangan, letih dan  putus asa. Hari-hari ini Kota Manado bahkan masih dalam kondisi mengenaskan. Sampah dan lumpur berlepotan di mana-mana. Dibutuhkan kerja keras dan kerja cerdas semua pihak agar kota ini bisa kembali berseri selekasnya.
Pertanyaan penting yang patut diajukan, bagaimana warga Manado menatap masa depannnya? Dengan untaian peristiwa banjir selama satu dasawarsa ini, kita berpandangan bahwa program jangka panjang mengatasi banjir dan longsor jangan ditunda-tunda lagi. Janji pemerintah menormalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano jangan cuma ngomong doang. Pemerintah harus menunjukkan bukti.
Langkah lain yang tak kalah urgen yaitu mitigasi bencana.  Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha guna mengurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.
Dalam rangka itu tentu dibutuhkan gerakan penyadaran yang masif  bagi warga Kota Manado serta daerah sekitarnya bahwa mereka hidup dengan ancaman banjir dan longsor. Gerakan penyadaran itu sangat penting agar masyarakat tanggap atau sadar bencana. Warga Manado mesti paham kapan mereka harus siaga banjir dan longsor,  kapan mengungsi, bagaimana memilih akses jalan untuk  mengungsi, di mana tempat mengungsi yang aman dan sebagainya.
Dengan demikian niscaya kita bisa menekan jatuhnya korban jiwa serta harta benda ketika banjir datang akibat curah hujan di wilayah Sulut di atas normal. Mitigasi bencana banjir dan longsor mestinya menjadi program prioritas Pemerintah Provinsi Sulut serta Pemerintah Kota Manado pascabanjir bandang 15 Januari 2014. Tentu tidak langsung menuntaskan seluruh perkara. Tapi jika kita telah berani memulai, setidaknya dapat meminimalisir risiko bencana pada waktu mendatang.  Manado tidak boleh larut  dalam bencana ini. Saatnya kita bangkit!*

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hidup Bersama Banjir"

Post a Comment