Naskah Drama Legenda Situ Bagendit
Garut
adalah salah satu daerah di jawa Barat. Merupakan daerah yang subur dan
memiliki banyak tempat wisata. Salah satunya adalah Situ bagendit. Dan
cerita ini adalah mengenai asal-usul terbentuknya situ Bagendit.
Pada jaman dahulu kala disebelah utara
kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani.
Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air,
maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah.
Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.
Hari masih sedikit
gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah
bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.
Nyai Endit adalah orang terkaya di desa
itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup
menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya!
Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil
panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya
dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng
suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus
membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.
Petani 1 : “Wah kapan ya nasib kita berubah?.Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
Petani 2
: “Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!.
Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang
setimpal bagi orang yang suka berbuat
aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
Nyai Endit : “Barja!!!! Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?”.
Barja : “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
Nyai Endit : “Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!”.
Penduduk desa : “Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Nenek : “Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
Nenek :“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
Penduduk desa :“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
Nenek : “Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
Nyi Asih : “Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”
Nenek : “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
Nyai Asih : “Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
Nenek : “Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
Nyi Asih : “Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
Nenek : “Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Para Centeng : “Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.
Nenek : “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
Para Centeng : “Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya.
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
Nyai Endit : “Barja!!!! Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?”.
Barja : “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
Nyai Endit : “Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!”.
Benar
saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan
makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara
Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di
rumahnya.
Penduduk desa : “Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu
siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan
terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh
iba.
Nenek : “Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
Nenek :“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
Penduduk desa :“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
Nenek : “Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
Nyi Asih : “Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”
Nenek : “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
Nyai Asih : “Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
Nenek : “Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
Nyi Asih : “Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
Nenek : “Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara
itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula
para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung
dihadang oleh para centeng.
Nenek : “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
Para Centeng : “Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya.
Nenek : “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
Nyi Endit : “Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”
Nyai Endit :“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
Nenek : “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.
Nyi Endit : “Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
Nenek : “Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
Nyi Endit : “Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
Nenek : “Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
Nyi Endit : “Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
Nyi Endit : “Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
Nenek : “Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
Nenek : “Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
Nyi Endit : “Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”
Nyai Endit :“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
Nenek : “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.
Nyi Endit : “Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
Nenek : “Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
Nyi Endit : “Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
Nenek : “Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
Nyi Endit : “Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
Nyi Endit : “Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
Nenek : “Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
Nenek : “Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah
berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal
Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha
berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat
menenggelamkannya beserta hartanya.
Di
desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang
menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal
dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa
melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah
penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
Pada zaman dahulu hiduplah seorang janda yang kaya raya,bernama Nyai Endit.
Ia
tinggal di sebuah desa di daerah Garut, Jawa Barat. Nyai Endit
mempunyai harta yang berlimpah ruah. Akan tetapi, ia sangat kikir dan
tamak. Ia juga sangat sombong, terutama pada orang-orang miskin. Suatu
hari Nyai Endit mengadakan selamatan karena hartanya bertambah banyak.
Ketika selamatan itu berlangsung, datanglah seorang pengemis. Keadaan
pengemis itu sangat menyedihkan. Tubuhnya sangat kurus dan bajunya
compang-camping. “Tolong Nyai, berilah hamba sedikit makanan, ”pengemis
itu memohon. Melihat pengemis tua yang kotor dan compang-camping masuk
ke rumahnya, Nyai Endit itu marah dan mengusir pengemis itu. “Pengemis
kotor tidak tahu malu, pergi kau dari rumahku, ”bentak Nyai Endit.
Dengan sedih pengemis itu pergi. Keesokan harinya masyarakat disibukkan
dengan munculnya sebatang lidi yang tertancap di jalan desa. Semua orang
berusaha mencabut lidi itu. Namun,tidak ada yang berhasil. Pengemis tua
yang meminta makan pada Nyai Endit muncul kembali.
Dengan
cepat ia dapat mencabut lidi itu. Seketika keluarlah pancuran air yang
sangat deras. Makin lama air itu makin deras. Karena takut
kebanjiran,penduduk desa itu mengungsi. Nyai Endit yang kikir dan tamak
tidak mau meninggalkan rumahnya. Ia sangat sayang pada hartanya.
Akhirnya, ia tenggelam bersama dengan harta bendanya. Penduduk yang lain
berhasil selamat. Konon,begitulah asal mula danau yang di kemudian hari
dinamakan Situ Bagendit.
Garut
adalah salah satu daerah di jawa Barat. Merupakan daerah yang subur dan
memiliki banyak tempat wisata. Salah satunya adalah Situ bagendit. Dan
cerita ini adalah mengenai asal-usul terbentuknya situ Bagendit.
Pada jaman dahulu kala disebelah utara
kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani.
Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air,
maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah.
Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.
Hari masih sedikit
gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah
bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.
Nyai Endit adalah orang terkaya di desa
itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup
menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya!
Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil
panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya
dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng
suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus
membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.
Petani 1 : “Wah kapan ya nasib kita berubah?.Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
Petani 2
: “Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!.
Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang
setimpal bagi orang yang suka berbuat
aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
Nyai Endit : “Barja!!!! Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?”.
Barja : “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
Nyai Endit : “Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!”.
Penduduk desa : “Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Nenek : “Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
Nenek :“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
Penduduk desa :“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
Nenek : “Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
Nyi Asih : “Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”
Nenek : “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
Nyai Asih : “Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
Nenek : “Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
Nyi Asih : “Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
Nenek : “Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Para Centeng : “Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.
Nenek : “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
Para Centeng : “Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya.
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
Nyai Endit : “Barja!!!! Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?”.
Barja : “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
Nyai Endit : “Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!”.
Benar
saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan
makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara
Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di
rumahnya.
Penduduk desa : “Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu
siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan
terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh
iba.
Nenek : “Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
Nenek :“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
Penduduk desa :“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
Nenek : “Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
Nyi Asih : “Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”
Nenek : “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
Nyai Asih : “Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
Nenek : “Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
Nyi Asih : “Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
Nenek : “Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara
itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula
para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung
dihadang oleh para centeng.
Nenek : “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
Para Centeng : “Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya.
Nenek : “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
Nyi Endit : “Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”
Nyai Endit :“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
Nenek : “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.
Nyi Endit : “Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
Nenek : “Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
Nyi Endit : “Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
Nenek : “Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
Nyi Endit : “Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
Nyi Endit : “Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
Nenek : “Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
Nenek : “Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
Nyi Endit : “Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”
Nyai Endit :“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
Nenek : “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.
Nyi Endit : “Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
Nenek : “Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
Nyi Endit : “Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
Nenek : “Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
Nyi Endit : “Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
Nyi Endit : “Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
Nenek : “Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
Nenek : “Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah
berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal
Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha
berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat
menenggelamkannya beserta hartanya.
Di
desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang
menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal
dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa
melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah
penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
Pada zaman dahulu hiduplah seorang janda yang kaya raya,bernama Nyai Endit.
Ia
tinggal di sebuah desa di daerah Garut, Jawa Barat. Nyai Endit
mempunyai harta yang berlimpah ruah. Akan tetapi, ia sangat kikir dan
tamak. Ia juga sangat sombong, terutama pada orang-orang miskin. Suatu
hari Nyai Endit mengadakan selamatan karena hartanya bertambah banyak.
Ketika selamatan itu berlangsung, datanglah seorang pengemis. Keadaan
pengemis itu sangat menyedihkan. Tubuhnya sangat kurus dan bajunya
compang-camping. “Tolong Nyai, berilah hamba sedikit makanan, ”pengemis
itu memohon. Melihat pengemis tua yang kotor dan compang-camping masuk
ke rumahnya, Nyai Endit itu marah dan mengusir pengemis itu. “Pengemis
kotor tidak tahu malu, pergi kau dari rumahku, ”bentak Nyai Endit.
Dengan sedih pengemis itu pergi. Keesokan harinya masyarakat disibukkan
dengan munculnya sebatang lidi yang tertancap di jalan desa. Semua orang
berusaha mencabut lidi itu. Namun,tidak ada yang berhasil. Pengemis tua
yang meminta makan pada Nyai Endit muncul kembali.
Dengan
cepat ia dapat mencabut lidi itu. Seketika keluarlah pancuran air yang
sangat deras. Makin lama air itu makin deras. Karena takut
kebanjiran,penduduk desa itu mengungsi. Nyai Endit yang kikir dan tamak
tidak mau meninggalkan rumahnya. Ia sangat sayang pada hartanya.
Akhirnya, ia tenggelam bersama dengan harta bendanya. Penduduk yang lain
berhasil selamat. Konon,begitulah asal mula danau yang di kemudian hari
dinamakan Situ Bagendit.
0 Response to "Naskah Drama Legenda Situ Bagendit"
Post a Comment