peta pulau sumatera
Peta Sumatera |
Pulau Sumatera adalah pulau keenam
terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 443.065,8
km2. Penduduk pulau ini sekitar 52.210.926 (sensus 2010). Pulau ini
dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau
Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti “pulau emas”). Kemudian pada
Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa
Sanskerta, berarti “tanah emas”) dan bhūmi mālayu (“Tanah Melayu”) untuk
menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad
ke-14 juga kembali menyebut “Bumi Malayu” (Melayu) untuk pulau ini.
Asal nama Sumatera berawal dari
keberadaaan Kerajaan Samudera (terletak di pesisir timur Aceh). Diawali
dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut
pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah, dan
kemudian menjadi Sumatra atau Sumatera, selanjutnya nama ini tercantum
dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau
ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang.
Nama asli Sumatera, sebagaimana tercatat
dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah “Pulau
Emas”. Istilah Pulau Ameh (bahasa Minangkabau, berarti pulau emas) kita
jumpai dalam cerita Cindua Mato dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat
Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau Sumatera. Seorang
musafir dari Cina yang bernama I-tsing (634-713), yang bertahun-tahun
menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut
Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”.
Dalam berbagai prasasti, Sumatera disebut
dalam bahasa Sanskerta dengan istilah: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau
Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam
naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling
tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk
Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian
Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa.
Para musafir Arab menyebut Sumatera
dengan nama “Serendib” (tepatnya: “Suwarandib”), transliterasi dari nama
Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang
mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya
terletak di pulau Suwarandib. Namun ada juga orang yang mengidentifikasi
Serendib dengan Srilangka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa.
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera
sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah
dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua
Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara
dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau
Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang
dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak
zaman purba sebagai penghasil kapur barus.
Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes
Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse
nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari
daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Nusantara, terutama
Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax
sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya
ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah
menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur,
sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad
pertama Masehi.
Dalam kitab umat Yahudi, Melakim
(Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil
menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan
beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ofir. Kitab Al-Qur’an, Surat
Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman berlayar ke
“tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).
Banyak ahli sejarah yang berpendapat
bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera (Gunung Ophir di Pasaman
Barat, Sumatera Barat yang sekarang bernama Gunung Talamau?). Perlu
dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur
Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan
informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak
petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera
dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ofir Nabi Sulaiman a.s.
Kata yang pertama kali menyebutkan nama
Sumatra berasal dari gelar seorang raja Sriwijaya Haji (raja)
Sumatrabhumi (“Raja tanah Sumatra”), berdasarkan berita China ia
mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017. Pendapat lain menyebutkan
nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad
ke-13 dan abad ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan
nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau
Kalimantan yang disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara
pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau
Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah
di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut
Portugis.
Peralihan Samudera (nama kerajaan)
menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da
Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia
berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di
kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila
l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di
kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di
Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan
seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta
daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau “Samatrah”.
Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama
“Camatarra”. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama
“Samatara”, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama “Samatra”.
Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu “Camatra”, dan Alfonso
Albuquerque tahun 1512 menuliskannya “Camatora”. Antonio Pigafetta tahun
1521 memakai nama yang agak ‘benar’: “Somatra”. Tetapi sangat banyak
catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: “Samoterra”,
“Samotra”, “Sumotra”, bahkan “Zamatra” dan “Zamatora”.
Peta Sumatera |
Pulau Sumatera adalah pulau keenam
terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 443.065,8
km2. Penduduk pulau ini sekitar 52.210.926 (sensus 2010). Pulau ini
dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau
Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti “pulau emas”). Kemudian pada
Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa
Sanskerta, berarti “tanah emas”) dan bhūmi mālayu (“Tanah Melayu”) untuk
menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad
ke-14 juga kembali menyebut “Bumi Malayu” (Melayu) untuk pulau ini.
Asal nama Sumatera berawal dari
keberadaaan Kerajaan Samudera (terletak di pesisir timur Aceh). Diawali
dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut
pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah, dan
kemudian menjadi Sumatra atau Sumatera, selanjutnya nama ini tercantum
dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau
ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang.
Nama asli Sumatera, sebagaimana tercatat
dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah “Pulau
Emas”. Istilah Pulau Ameh (bahasa Minangkabau, berarti pulau emas) kita
jumpai dalam cerita Cindua Mato dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat
Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau Sumatera. Seorang
musafir dari Cina yang bernama I-tsing (634-713), yang bertahun-tahun
menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut
Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”.
Dalam berbagai prasasti, Sumatera disebut
dalam bahasa Sanskerta dengan istilah: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau
Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam
naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling
tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk
Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian
Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa.
Para musafir Arab menyebut Sumatera
dengan nama “Serendib” (tepatnya: “Suwarandib”), transliterasi dari nama
Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang
mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya
terletak di pulau Suwarandib. Namun ada juga orang yang mengidentifikasi
Serendib dengan Srilangka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa.
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera
sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah
dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua
Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara
dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau
Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang
dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak
zaman purba sebagai penghasil kapur barus.
Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes
Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse
nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari
daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Nusantara, terutama
Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax
sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya
ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah
menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur,
sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad
pertama Masehi.
Dalam kitab umat Yahudi, Melakim
(Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil
menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan
beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ofir. Kitab Al-Qur’an, Surat
Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman berlayar ke
“tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).
Banyak ahli sejarah yang berpendapat
bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera (Gunung Ophir di Pasaman
Barat, Sumatera Barat yang sekarang bernama Gunung Talamau?). Perlu
dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur
Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan
informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak
petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera
dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ofir Nabi Sulaiman a.s.
Kata yang pertama kali menyebutkan nama
Sumatra berasal dari gelar seorang raja Sriwijaya Haji (raja)
Sumatrabhumi (“Raja tanah Sumatra”), berdasarkan berita China ia
mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017. Pendapat lain menyebutkan
nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad
ke-13 dan abad ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan
nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau
Kalimantan yang disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara
pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau
Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah
di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut
Portugis.
Peralihan Samudera (nama kerajaan)
menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da
Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia
berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di
kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila
l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di
kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di
Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan
seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta
daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau “Samatrah”.
Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama
“Camatarra”. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama
“Samatara”, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama “Samatra”.
Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu “Camatra”, dan Alfonso
Albuquerque tahun 1512 menuliskannya “Camatora”. Antonio Pigafetta tahun
1521 memakai nama yang agak ‘benar’: “Somatra”. Tetapi sangat banyak
catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: “Samoterra”,
“Samotra”, “Sumotra”, bahkan “Zamatra” dan “Zamatora”.
0 Response to "peta pulau sumatera"
Post a Comment