Hidup Bersama Banjir
Dalam dua tahun terakhir, bencana banjir
serta tanah longsor seolah menjadi ritual awal tahun yang sangat mematikan.
Pada tanggal 17 Februari 2013, banjir dan tanah longsor yang menerjang Kota
Manado dan sekitarnya menyebabkan 17 orang meninggal dunia. Belum genap setahun
atau tepat pada hari Rabu, 15 Januari 2014 bencana serupa lagi-lagi menimpa.
Sebanyak 19 orang tewas dan kerugian material menurut catatan sementara
pemerintah kurang lebih Rp 1,8 triliun.
Dampak
psikologis bencana ini tak kalah mengerikan. Sebagian besar korban pastilah
mengalami depresi. Ada rasa kehilangan, letih dan putus asa. Hari-hari
ini Kota Manado bahkan masih dalam kondisi mengenaskan. Sampah dan lumpur
berlepotan di mana-mana. Dibutuhkan kerja keras dan kerja cerdas semua pihak
agar kota ini bisa kembali berseri selekasnya.
Pertanyaan penting yang patut diajukan,
bagaimana warga Manado menatap masa depannnya? Dengan untaian peristiwa banjir
selama satu dasawarsa ini, kita berpandangan bahwa program jangka panjang
mengatasi banjir dan longsor jangan ditunda-tunda lagi. Janji pemerintah
menormalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano jangan cuma ngomong doang.
Pemerintah harus menunjukkan bukti.
Langkah lain
yang tak kalah urgen yaitu mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah
serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat menghadapi ancaman
bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai
tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha guna mengurangi korban
ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.
Dalam rangka
itu tentu dibutuhkan gerakan penyadaran yang masif bagi warga Kota Manado
serta daerah sekitarnya bahwa mereka hidup dengan ancaman banjir dan longsor.
Gerakan penyadaran itu sangat penting agar masyarakat tanggap atau sadar
bencana. Warga Manado mesti paham kapan mereka harus siaga banjir dan longsor,
kapan mengungsi, bagaimana memilih akses jalan untuk mengungsi, di mana
tempat mengungsi yang aman dan sebagainya.
Dengan
demikian niscaya kita bisa menekan jatuhnya korban jiwa serta harta benda
ketika banjir datang akibat curah hujan di wilayah Sulut di atas normal.
Mitigasi bencana banjir dan longsor mestinya menjadi program prioritas
Pemerintah Provinsi Sulut serta Pemerintah Kota Manado pascabanjir bandang 15
Januari 2014. Tentu tidak langsung menuntaskan seluruh perkara. Tapi jika kita
telah berani memulai, setidaknya dapat meminimalisir risiko bencana pada waktu
mendatang. Manado tidak boleh larut dalam bencana ini. Saatnya kita
bangkit!*
Dalam dua tahun terakhir, bencana banjir
serta tanah longsor seolah menjadi ritual awal tahun yang sangat mematikan.
Pada tanggal 17 Februari 2013, banjir dan tanah longsor yang menerjang Kota
Manado dan sekitarnya menyebabkan 17 orang meninggal dunia. Belum genap setahun
atau tepat pada hari Rabu, 15 Januari 2014 bencana serupa lagi-lagi menimpa.
Sebanyak 19 orang tewas dan kerugian material menurut catatan sementara
pemerintah kurang lebih Rp 1,8 triliun.
Dampak
psikologis bencana ini tak kalah mengerikan. Sebagian besar korban pastilah
mengalami depresi. Ada rasa kehilangan, letih dan putus asa. Hari-hari
ini Kota Manado bahkan masih dalam kondisi mengenaskan. Sampah dan lumpur
berlepotan di mana-mana. Dibutuhkan kerja keras dan kerja cerdas semua pihak
agar kota ini bisa kembali berseri selekasnya.
Pertanyaan penting yang patut diajukan,
bagaimana warga Manado menatap masa depannnya? Dengan untaian peristiwa banjir
selama satu dasawarsa ini, kita berpandangan bahwa program jangka panjang
mengatasi banjir dan longsor jangan ditunda-tunda lagi. Janji pemerintah
menormalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano jangan cuma ngomong doang.
Pemerintah harus menunjukkan bukti.
Langkah lain
yang tak kalah urgen yaitu mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah
serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat menghadapi ancaman
bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai
tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha guna mengurangi korban
ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.
Dalam rangka
itu tentu dibutuhkan gerakan penyadaran yang masif bagi warga Kota Manado
serta daerah sekitarnya bahwa mereka hidup dengan ancaman banjir dan longsor.
Gerakan penyadaran itu sangat penting agar masyarakat tanggap atau sadar
bencana. Warga Manado mesti paham kapan mereka harus siaga banjir dan longsor,
kapan mengungsi, bagaimana memilih akses jalan untuk mengungsi, di mana
tempat mengungsi yang aman dan sebagainya.
Dengan
demikian niscaya kita bisa menekan jatuhnya korban jiwa serta harta benda
ketika banjir datang akibat curah hujan di wilayah Sulut di atas normal.
Mitigasi bencana banjir dan longsor mestinya menjadi program prioritas
Pemerintah Provinsi Sulut serta Pemerintah Kota Manado pascabanjir bandang 15
Januari 2014. Tentu tidak langsung menuntaskan seluruh perkara. Tapi jika kita
telah berani memulai, setidaknya dapat meminimalisir risiko bencana pada waktu
mendatang. Manado tidak boleh larut dalam bencana ini. Saatnya kita
bangkit!*
0 Response to "Hidup Bersama Banjir"
Post a Comment