Artikel bencana lumpur Lapindo
Sidoarjo merupakan sebuah pembahasan yang
mengangkat peristiwa meluapnya lumpur
panas dari perut bumi sebagai akibat dari pengeboran yang dilakukan oleh PT.
Lapindo Brantas. Lokasi semburan lumpur panas Lapindo terletak di kecamatan
Porong Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Artikel bencana lumpur Lapindo banyak dimuat
di media massa dan internet sebagai
gambaran dari keadaan masyarakat yang terkena lumpur Lapindo. Gambaran tersebut
hanya sebatas informasi dan tidak ada tindak lanjut yang menyelesaikan
semuanya.
Semburan awal lumpur panas tersebut terjadi
pada tanggal 29 Mei 2006. Akibat dari semburan lumpur tersebut, kawasan
pemukiman, pertanian, dan perindustrian di wilayah Porong Sidoarjo lumpuh
total. Selain itu, lumpur panas berdampak serius pada kegiatan ekonomi di Jawa Timur. Tidak hanya
Kecamatan Porong, kecamatan lain yakni Gempol ikut merasakan dampak dari
semburan lumpur panas Lapindo.
Pusat semburan lumpur panas berjarak 150
meter dari pusat pengeboran gas PT. Lapindo Brantas. Luapan lumpur
panas tersebut diduga berasal dari eksplorasi gas PT. Lapindo Brantas.
Awalnya, semburan lumpur yang terjadi
berkaitan dengan kesalahan prosedur pengeboran. Selanjutnya, semburan lumpur
terjadi akibat pengeboran material lain yang masih belum diketahui asalnya.
Lokasi semburan itu adalah kawasan pemukiman dan kawasan perindustrian utama
daerah Jawa Timur.
Tidak hanya itu, jalan tol arah Surabaya-Gempol, jalan raya arah Surabaya-Malang, dan jalur
pantura timur yang menghubungkan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi pun ikut terkena
dampaknya. Tak ketinggalan jalur kereta api lintas timur kota Surabaya-Malang
dan Surabaya-Banyuwangi tidak dapat dilalui akibat luasnya lokasi luapan lumpur
panas tersebut.
Pengeboran sumur gas oleh PT. Lapindo Brantas
terjadi pada awal Maret 2006. Rencananya, sumur akan digali dengan kedalaman
8500 kaki atau sekitar 2590
meter sampai mencapai lapisan batu gamping.
Sumur gas tersebut akan dipasang selubung bor
atau casing yang
bervariasi sesuai ukuran kedalaman. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari hilangnya
lumpur dalam formasi dan masuknya fluida ke dalam sumur sebelum mencapai
formasi kujung.
Ketika kedalaman sumur 3580 kaki sampai ke
9297 kaki, casing
tersebut belum terpasang karena PT. Lapindo Brantas menganggap casing harus dipasang pada
formasi kalibeng bawah dengan formasi kujung di kedalaman 8500 kaki. Kesalahan
inilah yang menyebabkan lumpur panas menyembur di sekitar lokasi pengeboran.
Perencanaan pengeboran dengan prognosis pengeboran yang salah telah
dilakukan oleh Lapindo. Asumsinya, zona
daerah Porong disamakan dengan pengeboran zona Rembang yang target
pengeborannya adalah formasi Kujung. Padahal, Lapindo mengebor zona Kendeng
yang tidak ada formasi Kujungnya.
Selama proses pengeboran berlangsung, mereka
tidak memasang selubung bor yang seharusnya terpasang saat pengeboran. Mereka
berasumsi bahwa pemasangan selubung bor dilakukan setelah mencapai titik
batu gamping
yaitu pada formasi Kujung. Hasilnya, selama pengeboran berlangsung lumpur overpressure dan berusaha
keluar. Namun pada saat itu, lumpur masih dapat diatasi oleh Lapindo dengan
pompa medici.
Lapisan baru gamping ditemukan pada kedalaman
tanah yang mencapai 9297 kaki. Ketika itu, pengeboran dianggap telah mencapai
formasi Kujung padahal baru mencapai formasi Klitik, yaitu struktur batu gamping berupa porous atau bolong-bolong.
Lumpur yang digunakan untuk formasi Pucangan pun hilang dan masuk ke lubang
formasi Klitik.
Akibatnya, Lapindo kehilangan lumpur
dipermukaan. Lumpur formasi Pucangan pun berusaha menerobos keluar. Akibat
insiden ini seharusnya operasi pengeboran dihentikan dan mata bor ditarik
keluar secepatnya.
Akan tetapi, mata bor terjepit dan terpaksa
dipotong. Perangkap Blow Out
Preventer (BOP) di
rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pemboran yang berkapasitas
berat untuk mematikan kick
atau lumpur yang berusaha menerobos keluar.
Kemungkinan yang terjadi adalah fluida yang
bertekanan tinggi sudah naik ke atas sampai ke batas open
hole dengan selubung gas dipermukaan. Pada kedalaman tersebut,
kondisi geografis tanah sangat tidak stabil
dan banyak terdapat rekahan alami yang bisa sampai ke permukaan tanah.
Karena lubang sudah tertutup, fluida
bertekanan tinggi akan mencari jalan keluar yang lain. Rekahan alami permukaan
tanah inilah yang memudahkan fluida keluar ke permukaan tanah. Akibatnya,
semburan dapat terjadi di area sumur bor bukan tepat di sumur pengeboran itu
sendiri. Faktor ini menyebabkan di sekitar sumur bor Sidoarjo terdapat semburan
lumpur panas karena kesalahan prosedur.
Rekahan alami yang terjadi di area sumur bor
disebabkan juga oleh banyaknya patahan yang tersebar dari Jawa Timur sampai
Madura tepatnya di Gunung Anyar. Gunung lumpur juga terdapat di Jawa Tengah dengan nama Bleduk Kuwu.
Patahan ini sudah lama terjadi bahkan mencapai ratusan tahun yang lalu.
Volume lumpur panas di Sidoarjo yang keluar
rata-rata 100.000 meter kubik setiap harinya. Jumlah material lumpur yang
sangat banyak jika pengeboran hanya sebesar 30 cm. Lumpur panas Sidorjo
mengandung senyawa arsen, barium, boron, timbal, raksa, sianida bebas, dan trichlorophenol yang
sangat berbahaya.
Dari pengujian toksitologis di laboratorium
Sucofindo, Corelab, dan Bogorlab dapat disimpulkan bahwa lumpur panas tersebut
bukan limbah B3 yang baik untuk bahan anorganik. Bahan kimia
tersebut berada di bawah baku mutu.
Upaya awal yang dilakukan untuk mencegah
penyebaran area lumpur panas Lapindo adalah pembuatan tanggul-tanggul terutama
area pemukiman penduduk. Upaya ini tidak terlalu berhasil karena volume lumpur
yang keluar terus bertambah dan areanya pun semakin meluas.
Dari penelitian Walhi, area semburan lumpur
panas Lapindo dan sungai-sungai di sekitar Porong sudah tercemar logam kadmium
(Cd) dan timbal (Pb). Kedua bahan kimia
ini berbahaya bagi manusia dan mahluk hidup lainnya karena kadarnya sudah
mencapai ambang batas.
Lumpur panas yang dikeluarkan beserta
sedimen-sedimennya memiliki kadar timbal yang tinggi mencapai 146 kali dari
ambang batas yang diizinkan. Jika saja lumpur Lapindo tidak berbahaya, maka
luapan lumpur tersebut bisa dibuang ke laut karena tidak beracun bagi organisme
akuatik.
Namun kenyataannya berbeda, semburan lumpur
Lapindo memberikan dampak yang merugikan masyarakat. Aktivitas perekonomian
masyarakat menjadi terganggu. Penyakit berbahaya dari kandungan bahan kimia
berbahaya dapat berupa kanker kulit
dengan tanda kulit kemerahan, iritasi, kulit melepuh, kelainan pada reproduksi,
dan bisa membahayakan organ dalam seperti liver dan paru-paru.
Dampak lumpur panas bagi manusia baru dapat
dirasakan 5 sampai 10 tahun ke depan. Tiga tahun setelah kejadian, belum
ditemukan korban jiwa akibat lumpur panas di Lapindo. Dampak yang secara
langsung dapat dirasakan adalah kerusakan lingkungan di sekitar area semburan
lumpur panas. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan semburan lumpur panas
Lapindo, yaitu sebagai berikut.
1. Sebanyak 16 desa di tiga kecamatan
tergenang oleh lumpur. Semburan lumpur menggenangi pemukiman, kantor
pemerintahan, sarana pendidikan, sarana ibadah, dan fasilitas umum seperti
jembatan dan jalan. Sebanyak 8.200 orang terpaksa mengungsi dan kehilangan mata
pencaharian.
2. Lumpur merendam lahan dan ternak warga.
Sejumlah lahan pertanian berupa lahan tebu dan
areal persawahan tidak dapat difungsikan lagi. Hewan unggas, kambing, sapi, dan
kijang milik warga mati akibat lumpur panas Lapindo.
3. Ada sekitar 30 pabrik yang menghentikan
operasinya karena tergenang oleh lumpur. Akibatnya, sebanyak 1.873 buruh pabrik
terpaksa dirumahkan.
4. Pipa saluran air PDAM Surabaya putus
akibat semburan lumpur panas Lapindo.
5. Terjadi ledakan pipa gas milik Pertamina
akibat tekanan lumpur dan pipa gas pun ikut terendam sekitar 2,5 km.
6. Penutupan ruas jalan tol Surabaya-Gempol
dengan batas waktu yang tidak ditentukan karena semburan lumpur panas masih
terus terjadi sampai sekarang. Pengalihan jalan alternatif yaitu
Sidoarjo-Mojosari-Porong dan Waru-tol-Porong.
7. Semua jaringan listrik dan telepon untuk
kawasan Porong Sidoarjo tidak berfungsi lagi.
Dalam artikel
bencana lumpur Lapindo digambarkan beragam upaya dilakukan untuk
menanggulangi luapan lumpur Lapindo. Jika luapan lumpur panas Lapindo merupakan
kesalahan manusia, maka dapat dilakukan dengan menghentikan luapan lumpur
melalui teknik snubbing
unit, yaitu menyuntikkan semen dan lumpur berat ke dalam sumur. Cara lain
dengan melakukan pengeboran miring atau sidetracking
untuk menemukan kerusakan pada selubung pengeboran.
Kedua upaya pemadaman luapan lumpur tersebut
tidak menghasilkan apa-apa. Upaya yang sedang berjalan saat ini adalah
pembuatan sumur-sumur baru di areal semburan untuk mengepung retakan dan
patahan tempat keluarnya lumpur. Jika memang benar adanya, semburan lumpur
panas Lapindo akan terhenti dalam waktu puluhan bahkan sampai ratusan tahun
kemudian.
Ada indikasi lain, bahwa semburan lumpur
panas di Sidoarjo merupakan fenomena
alam. Hal tersebut dilihat dari tanda-tanda geologi luapan lumpur yang sama
pada zaman dulu di area sekitar semburan lumpur panas. Jika benar seperti itu,
diperlukan waduk tambahan untuk menampung luapan lumpur.
Cara lain adalah membuang lumpur ke Kali
Porong tanpa perlu digali karena daya tampungnya cukup besar. Untuk mencegah
penyebaran senyawa berbahaya dari lumpur Lapindo, dapat dilakukan dengan
mengendapkan dan menstabilisasi lumpur di kawasan pantai Sidoarjo. Air lumpur
bisa dibuang ke laut sedangkan endapan lumpur dapat dijadikan lahan basah atau
rawa untuk ditanami mangrove.
Sampai sekarang, penanganan masalah lumpur Lapindo
belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah. Banyak pihak yang berasumsi bahwa
pemerintah sangat lambat menangani masalah ini. Padahal, dampak terburuk dari
bencana ini adalah masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan mata
pencaharian.
Artikel bencana lumpur Lapindo yang
menjelaskan mengenai fenomena lumpur panas tersebut menjadi berita yang hanya dibaca sebatas informasi. Fenomena lumpur
panas Lapindo seakan-akan fenomena yang
terjadi secara mengejutkan dan dilupakan begitu saja di kemudian hari.
Setelah hampir 7 tahun berlalu, korban
bencana lumpur Lapindo seakan-akan terlupakan. Sama halnya dengan korban
bencana lain seperti korban gempa dan tsunami di Aceh 2004 lalu. Sungguh
ironis, potret nyata penanggulangan bencana di Indonesia. Semoga artikel
bencana lumpur Lapindo ini berguna bagi Anda.
Download artikel Disini
Download artikel Disini
Sidoarjo merupakan sebuah pembahasan yang
mengangkat peristiwa meluapnya lumpur
panas dari perut bumi sebagai akibat dari pengeboran yang dilakukan oleh PT.
Lapindo Brantas. Lokasi semburan lumpur panas Lapindo terletak di kecamatan
Porong Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Artikel bencana lumpur Lapindo banyak dimuat
di media massa dan internet sebagai
gambaran dari keadaan masyarakat yang terkena lumpur Lapindo. Gambaran tersebut
hanya sebatas informasi dan tidak ada tindak lanjut yang menyelesaikan
semuanya.
Semburan awal lumpur panas tersebut terjadi
pada tanggal 29 Mei 2006. Akibat dari semburan lumpur tersebut, kawasan
pemukiman, pertanian, dan perindustrian di wilayah Porong Sidoarjo lumpuh
total. Selain itu, lumpur panas berdampak serius pada kegiatan ekonomi di Jawa Timur. Tidak hanya
Kecamatan Porong, kecamatan lain yakni Gempol ikut merasakan dampak dari
semburan lumpur panas Lapindo.
Pusat semburan lumpur panas berjarak 150
meter dari pusat pengeboran gas PT. Lapindo Brantas. Luapan lumpur
panas tersebut diduga berasal dari eksplorasi gas PT. Lapindo Brantas.
Awalnya, semburan lumpur yang terjadi
berkaitan dengan kesalahan prosedur pengeboran. Selanjutnya, semburan lumpur
terjadi akibat pengeboran material lain yang masih belum diketahui asalnya.
Lokasi semburan itu adalah kawasan pemukiman dan kawasan perindustrian utama
daerah Jawa Timur.
Tidak hanya itu, jalan tol arah Surabaya-Gempol, jalan raya arah Surabaya-Malang, dan jalur
pantura timur yang menghubungkan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi pun ikut terkena
dampaknya. Tak ketinggalan jalur kereta api lintas timur kota Surabaya-Malang
dan Surabaya-Banyuwangi tidak dapat dilalui akibat luasnya lokasi luapan lumpur
panas tersebut.
Pengeboran sumur gas oleh PT. Lapindo Brantas
terjadi pada awal Maret 2006. Rencananya, sumur akan digali dengan kedalaman
8500 kaki atau sekitar 2590
meter sampai mencapai lapisan batu gamping.
Sumur gas tersebut akan dipasang selubung bor
atau casing yang
bervariasi sesuai ukuran kedalaman. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari hilangnya
lumpur dalam formasi dan masuknya fluida ke dalam sumur sebelum mencapai
formasi kujung.
Ketika kedalaman sumur 3580 kaki sampai ke
9297 kaki, casing
tersebut belum terpasang karena PT. Lapindo Brantas menganggap casing harus dipasang pada
formasi kalibeng bawah dengan formasi kujung di kedalaman 8500 kaki. Kesalahan
inilah yang menyebabkan lumpur panas menyembur di sekitar lokasi pengeboran.
Perencanaan pengeboran dengan prognosis pengeboran yang salah telah
dilakukan oleh Lapindo. Asumsinya, zona
daerah Porong disamakan dengan pengeboran zona Rembang yang target
pengeborannya adalah formasi Kujung. Padahal, Lapindo mengebor zona Kendeng
yang tidak ada formasi Kujungnya.
Selama proses pengeboran berlangsung, mereka
tidak memasang selubung bor yang seharusnya terpasang saat pengeboran. Mereka
berasumsi bahwa pemasangan selubung bor dilakukan setelah mencapai titik
batu gamping
yaitu pada formasi Kujung. Hasilnya, selama pengeboran berlangsung lumpur overpressure dan berusaha
keluar. Namun pada saat itu, lumpur masih dapat diatasi oleh Lapindo dengan
pompa medici.
Lapisan baru gamping ditemukan pada kedalaman
tanah yang mencapai 9297 kaki. Ketika itu, pengeboran dianggap telah mencapai
formasi Kujung padahal baru mencapai formasi Klitik, yaitu struktur batu gamping berupa porous atau bolong-bolong.
Lumpur yang digunakan untuk formasi Pucangan pun hilang dan masuk ke lubang
formasi Klitik.
Akibatnya, Lapindo kehilangan lumpur
dipermukaan. Lumpur formasi Pucangan pun berusaha menerobos keluar. Akibat
insiden ini seharusnya operasi pengeboran dihentikan dan mata bor ditarik
keluar secepatnya.
Akan tetapi, mata bor terjepit dan terpaksa
dipotong. Perangkap Blow Out
Preventer (BOP) di
rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pemboran yang berkapasitas
berat untuk mematikan kick
atau lumpur yang berusaha menerobos keluar.
Kemungkinan yang terjadi adalah fluida yang
bertekanan tinggi sudah naik ke atas sampai ke batas open
hole dengan selubung gas dipermukaan. Pada kedalaman tersebut,
kondisi geografis tanah sangat tidak stabil
dan banyak terdapat rekahan alami yang bisa sampai ke permukaan tanah.
Karena lubang sudah tertutup, fluida
bertekanan tinggi akan mencari jalan keluar yang lain. Rekahan alami permukaan
tanah inilah yang memudahkan fluida keluar ke permukaan tanah. Akibatnya,
semburan dapat terjadi di area sumur bor bukan tepat di sumur pengeboran itu
sendiri. Faktor ini menyebabkan di sekitar sumur bor Sidoarjo terdapat semburan
lumpur panas karena kesalahan prosedur.
Rekahan alami yang terjadi di area sumur bor
disebabkan juga oleh banyaknya patahan yang tersebar dari Jawa Timur sampai
Madura tepatnya di Gunung Anyar. Gunung lumpur juga terdapat di Jawa Tengah dengan nama Bleduk Kuwu.
Patahan ini sudah lama terjadi bahkan mencapai ratusan tahun yang lalu.
Volume lumpur panas di Sidoarjo yang keluar
rata-rata 100.000 meter kubik setiap harinya. Jumlah material lumpur yang
sangat banyak jika pengeboran hanya sebesar 30 cm. Lumpur panas Sidorjo
mengandung senyawa arsen, barium, boron, timbal, raksa, sianida bebas, dan trichlorophenol yang
sangat berbahaya.
Dari pengujian toksitologis di laboratorium
Sucofindo, Corelab, dan Bogorlab dapat disimpulkan bahwa lumpur panas tersebut
bukan limbah B3 yang baik untuk bahan anorganik. Bahan kimia
tersebut berada di bawah baku mutu.
Upaya awal yang dilakukan untuk mencegah
penyebaran area lumpur panas Lapindo adalah pembuatan tanggul-tanggul terutama
area pemukiman penduduk. Upaya ini tidak terlalu berhasil karena volume lumpur
yang keluar terus bertambah dan areanya pun semakin meluas.
Dari penelitian Walhi, area semburan lumpur
panas Lapindo dan sungai-sungai di sekitar Porong sudah tercemar logam kadmium
(Cd) dan timbal (Pb). Kedua bahan kimia
ini berbahaya bagi manusia dan mahluk hidup lainnya karena kadarnya sudah
mencapai ambang batas.
Lumpur panas yang dikeluarkan beserta
sedimen-sedimennya memiliki kadar timbal yang tinggi mencapai 146 kali dari
ambang batas yang diizinkan. Jika saja lumpur Lapindo tidak berbahaya, maka
luapan lumpur tersebut bisa dibuang ke laut karena tidak beracun bagi organisme
akuatik.
Namun kenyataannya berbeda, semburan lumpur
Lapindo memberikan dampak yang merugikan masyarakat. Aktivitas perekonomian
masyarakat menjadi terganggu. Penyakit berbahaya dari kandungan bahan kimia
berbahaya dapat berupa kanker kulit
dengan tanda kulit kemerahan, iritasi, kulit melepuh, kelainan pada reproduksi,
dan bisa membahayakan organ dalam seperti liver dan paru-paru.
Dampak lumpur panas bagi manusia baru dapat
dirasakan 5 sampai 10 tahun ke depan. Tiga tahun setelah kejadian, belum
ditemukan korban jiwa akibat lumpur panas di Lapindo. Dampak yang secara
langsung dapat dirasakan adalah kerusakan lingkungan di sekitar area semburan
lumpur panas. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan semburan lumpur panas
Lapindo, yaitu sebagai berikut.
1. Sebanyak 16 desa di tiga kecamatan
tergenang oleh lumpur. Semburan lumpur menggenangi pemukiman, kantor
pemerintahan, sarana pendidikan, sarana ibadah, dan fasilitas umum seperti
jembatan dan jalan. Sebanyak 8.200 orang terpaksa mengungsi dan kehilangan mata
pencaharian.
2. Lumpur merendam lahan dan ternak warga.
Sejumlah lahan pertanian berupa lahan tebu dan
areal persawahan tidak dapat difungsikan lagi. Hewan unggas, kambing, sapi, dan
kijang milik warga mati akibat lumpur panas Lapindo.
3. Ada sekitar 30 pabrik yang menghentikan
operasinya karena tergenang oleh lumpur. Akibatnya, sebanyak 1.873 buruh pabrik
terpaksa dirumahkan.
4. Pipa saluran air PDAM Surabaya putus
akibat semburan lumpur panas Lapindo.
5. Terjadi ledakan pipa gas milik Pertamina
akibat tekanan lumpur dan pipa gas pun ikut terendam sekitar 2,5 km.
6. Penutupan ruas jalan tol Surabaya-Gempol
dengan batas waktu yang tidak ditentukan karena semburan lumpur panas masih
terus terjadi sampai sekarang. Pengalihan jalan alternatif yaitu
Sidoarjo-Mojosari-Porong dan Waru-tol-Porong.
7. Semua jaringan listrik dan telepon untuk
kawasan Porong Sidoarjo tidak berfungsi lagi.
Dalam artikel
bencana lumpur Lapindo digambarkan beragam upaya dilakukan untuk
menanggulangi luapan lumpur Lapindo. Jika luapan lumpur panas Lapindo merupakan
kesalahan manusia, maka dapat dilakukan dengan menghentikan luapan lumpur
melalui teknik snubbing
unit, yaitu menyuntikkan semen dan lumpur berat ke dalam sumur. Cara lain
dengan melakukan pengeboran miring atau sidetracking
untuk menemukan kerusakan pada selubung pengeboran.
Kedua upaya pemadaman luapan lumpur tersebut
tidak menghasilkan apa-apa. Upaya yang sedang berjalan saat ini adalah
pembuatan sumur-sumur baru di areal semburan untuk mengepung retakan dan
patahan tempat keluarnya lumpur. Jika memang benar adanya, semburan lumpur
panas Lapindo akan terhenti dalam waktu puluhan bahkan sampai ratusan tahun
kemudian.
Ada indikasi lain, bahwa semburan lumpur
panas di Sidoarjo merupakan fenomena
alam. Hal tersebut dilihat dari tanda-tanda geologi luapan lumpur yang sama
pada zaman dulu di area sekitar semburan lumpur panas. Jika benar seperti itu,
diperlukan waduk tambahan untuk menampung luapan lumpur.
Cara lain adalah membuang lumpur ke Kali
Porong tanpa perlu digali karena daya tampungnya cukup besar. Untuk mencegah
penyebaran senyawa berbahaya dari lumpur Lapindo, dapat dilakukan dengan
mengendapkan dan menstabilisasi lumpur di kawasan pantai Sidoarjo. Air lumpur
bisa dibuang ke laut sedangkan endapan lumpur dapat dijadikan lahan basah atau
rawa untuk ditanami mangrove.
Sampai sekarang, penanganan masalah lumpur Lapindo
belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah. Banyak pihak yang berasumsi bahwa
pemerintah sangat lambat menangani masalah ini. Padahal, dampak terburuk dari
bencana ini adalah masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan mata
pencaharian.
Artikel bencana lumpur Lapindo yang
menjelaskan mengenai fenomena lumpur panas tersebut menjadi berita yang hanya dibaca sebatas informasi. Fenomena lumpur
panas Lapindo seakan-akan fenomena yang
terjadi secara mengejutkan dan dilupakan begitu saja di kemudian hari.
Setelah hampir 7 tahun berlalu, korban
bencana lumpur Lapindo seakan-akan terlupakan. Sama halnya dengan korban
bencana lain seperti korban gempa dan tsunami di Aceh 2004 lalu. Sungguh
ironis, potret nyata penanggulangan bencana di Indonesia. Semoga artikel
bencana lumpur Lapindo ini berguna bagi Anda.
Download artikel Disini
Download artikel Disini
0 Response to "Artikel bencana lumpur Lapindo "
Post a Comment